Sabtu, 14 November 2009



Sabornaya dari farah




Kapan dia datang ? aku menunggunya. “ya Allah” gumamku. Kulihat bintang dan bulan di langit begitu terang. Masih ada harapan untuk semua ini. Allah masih memberikannya kesempatan. Aku yakin, Allah pasti dapat membantu.

***
“kemudian……” Farah menarik nafas panjang. “jadilah……!”
“wah kamu hebat !” aku bersorak senang.
“ah…! Masih hebat kamu kok !” katanya Farah sambil meletakkan kain itu ke meja. Dan menggeledah tasnya yang berisi sesuatu.
“apa itu ?” tanyaku penasaran.
Farah masih terdiam. Ia mengambil dan meletakkannya ke kursi. Benda itu berbentuk balok tipis terbungkus kantong plastik hitam.
“sesuai kesepakatan kita berdua” sekali lagi ia menarik nafas panjang. Aku masih terheran-heran. “selamat tahun baru hijriah” ujar Farah dengan senyum yang mengembang seraya memberikan bungkusan itu.
“wah…! Terimakasih banyak, astagfirullah aku lupa membawakannya untukmu”
“ah…! Tidak masalah, yang penting aku sudah tak punya hutang” katanya seraya bangga dengan seyum.
“ya sudah..! insya Allah besok aku bawa deh…!”
“eh tapi jangan lupa, kamu membukanya harus hari jum’at ya ?”
“oke..!” jawabku. Rasanya tak sabar ingin segera membukanya. Apa isinya ? pasti karyanya bagus. Dengan mantab aku memasukkannya dalam tas.
Farah adalah sahabat terbaikku.  Dia baik, cantik, kreatif, selalu tersenyum, mempunyai cita-cita yang sangat tinggi dan luhur, dan cerdas. Dia punya semuanya. Di kelas keterampilan, dia paling jago membuat keterampilan. Sulit bagiku sepertinya. Karyanya unik, tidak terlalu bagus tapi memiliki makna seni yang dalam. Ia selalu mendapat nilai sembilan setiap ulangan.
Berbeda dengan aku, karyaku tidak terlalu bagus, tapi tidak  memiliki makna sama sekali. Aku tidak iri padanya. Justru aku sangat butuh bantuannya. Dia sangat berarti bagiku.

***
Tiba hari jum’at. Malam hari. Aku membuka hadiah darinya. Aku tertawa dalam hati. Hadiah yang kuberikan kepada Farah, aku bungkus dengan 7 lapis kertas koran dan dilapisi kertas kado bertuliskan lafad Allah. Pasti Farah mengira hadiah itu berisi koran.
“subhanallah” aku terus memandangi benda itu. Kreatif sekali dia. Bayangkan saja hasil sulaman ini. Bahkan sekarang Farah dapat membuat sulaman yang sangat bagus dan bermakna. Gambar sebuah masjid besar dan dikelilingi es dan rerumputan yang subur. Aku tak tahu apa ucapan perasaannya padaku. Kenapa hasil sulaman itu gambar masjid ? apa maksudnya ?
“Syafira ? kamu sedang apa ? apa itu ?” ayah tiba – tiba menghampiriku.
“oh..! ini hasil karya Farah” kataku pelan.
“coba lihat” ujar ayah. Aku menyerahkan sulaman Farah kepada ayah. Ayah memandanginya dalam-dalam. Alisnya tertuju pada sulaman itu. ayah menggelengkan kepala, pertanda kagum.
“karya ini seperti bukan buatan Farah, karya ini bermakna sangat dalam” kata ayah dengan serius.
“benarkah ? apa makna sulaman itu ?” tanyaku.
“mungkin dia akan mengajakmu ke tempat ini”

***
“wah….! Rumahku semalam penuh dengan tumpukan kertas koran, tapi untung tidak dimarahi tante”
“hi…! Maaf ya…?”
“tidak apa kok” sudah berkali-kali ia tersenyum bangga.
“oh..! aku mau tanya” aku mengambil benda dari tas. “sebenarnya apa makna sulaman ini, ini terlalu bagus…! Kamu mencontoh di buku ya ?” kataku tak percaya.
Farah tersenyum. Hatiku merasa penasaran.
“aku tidak mencontoh di buku. Tante melarangku membeli alat-alat kesenian, bahkan dia menyuruhku berhenti bersekolah disini” jelasnya setengah menunduk.
“aku tahu itu, tantemu terlalu jahat” aku memeluknya. Rasanya aku tak ingin melepaskan pelukanku pada Farah. Aku ikut berduka. Pasti Farah merasa lebih menderita.
“nenekku selalu menceritakan tentang sebuah masjid, dimana masjid itu sangat besar dan jamaahnya ‘pun hingga berjuta-juta orang, tapi masjid itu hampir tak dapat menaungi orang sebanyak itu. Disana banyak rumput dan es” ujar Farah menoleh ke aku. Ia masih sempat tersenyum walaupun senyum itu hanya seperti sebuah seringai. 
“dimana masjid itu ?”
“dikota Moskow ini, kamu belum tahu ya…? Maukah kamu aku ajak pergi kesana ?”
iya dong……! aku tak akan menolak tawaramu, aku ingin melihatnya. Lagipula aku belum hafal kota Moskow. Jalan-jalan denganmu akan membuat aku hafal kota Moskow yang indah ini” kataku dengan senang.
“ya sudah, besok malam aku tunggu di depan café jam 7.25 malam aku akan mengajakmu jalan-jalan, oke ?”
“oke deh”
Aku tak sabar ingin segera jalan-jalan bersama Farah. Pasti akan sangat menyenangkan. Semoga tak ada halangan.

***





Syafira mengingat ingat lagi masa-masa indahnya dengan Farah. Ini sudah pukul 7.45 malam, Syafira menunggu Farah. Tapi Farah belum juga datang. Syafira membawakan sulaman hasil karya Farah. Nanti ia akan memberi kejutan saat jalan-jalan.
“pasti ia lama karena ulah tantenya yang kejam itu” Syafirah berhenti sejenak dan menarik nafas dalam-dalam.
“masya Allah aku tidak boleh syu’udzon” gumam Syafira.
Sudah kesekian kalinya Syafira melihat jam tangan. Menoleh ke kanan ke kiri tapi Farah belum juga datang. Ia seperti orang cemas. Pikirannya tak menentu.
Udara malam itu dingin sekali. Salju juga tak berhenti untuk turun. Ia menikmati pemandangan malam itu. Kota Moskow ini memang indah. “aku belum pernah melihat salju seindah ini” gumam Syafira. Ia ingin segera pulang. “tapi bagaimana kalau Farah datang ! pasti aku telah membuatnya kecewa”. Banyak orang lalu lalang berjalan. Tapi tak ada yang memperdulikan kecemasan Syafira. Apa yang terjadi dengan Farah ?
“farah cepatlah datang”

***
Farah sedang kebingungan, ia juga cemas. Aku telah mengecewakan Syafira.
“ayo jangan melamun, cepat mengepelnya” bentak tante Elsa pada Farah. Farah hanya menunduk. Ia tak dapat berbuat apa-apa.
“setelah itu nanti jangan lupa menyapu, setrika baju, mencuci piring, menyapu dan membereskan kamar tante ya ?” ujar tante Elsa ketus.
Tugas itu terlalu berat untuknya. Farah meneteskan air mata. Ia menangis bukan karena tugas yang berat itu, tapi ia sudah benar-benar  mengecewakan Syafira. Syafira pasti sedih. Aku telah membuatnya menunggu.
“tante akan pergi ke rumah tetangga, hanya 7 menit, cepat selesaikan tugasmu” ucap tante Elsa.
Farah bersorak dalam hati. Waktu 7 menit itu bisa untuk keluar rumah, walaupun hanya sebentar. Ia makin cepat menyetrika baju. Syafira akan senang, nanti sampai masjid Farah akan mengajaknya tadarus bersama. Karena di masijid saat Farah lewat, ia melihat pengumuman akan diadakan tadarus bersama. Ia bisa membayangkan bagaimana jadinya. Akan menyenangkan.
“tapi kamu jangan coba-coba pergi, tante akan mengunci seluruh jendela dan pintu rumah ini” tante Elsa memutus lamunan Farah.
Farah hanya bisa pasrah. Dalam hati, ia berdzikir agar Allah membantunya.
Saat tante Elsa keluar, Farah mengintip jendela belakang rumah. Alhamdullillah, jendela belakang rumah tidak dikunci. Tanpa berganti baju, Farah langsung meloncati jendela. Menurutnya pakaian yang ia gunakan masih layak. Ia tak mengenakan jaket. Itu akan menghabiskan waktu, “biarlah aku kedinginan yang penting aku bisa mendatanginya”
Farah berlari sekencang mungkin kerudungnya berkibar,  seperti bendera. Meskipun kakinya menginjak salju yang dingin, ia tak perduli. Ia merelakan semuanya.
“Syafira…! Aku datang”

***
“Farah dimana kamu ?” Syafira benar-benar cemas.
Farah melihat kursi panjang di depan café itu kosong. Ia mengira Syafira sudah pulang. Ia sudah mengecewakannya. Kaki Farah lemas, ia berjalan menuju kursi panjang itu. Ia tidak menyadari bahwa Syafira masih menunggu disana. Itu karena tiang dinding itu yang menghalangi mereka.
Farah duduk cemas di sebelah utara. Syafira duduk cemas di sebelah selatan. Mereka saling berdekatan. Tapi tak ada yang tahu. Farah seperti sudah tak kuat karena seharian sudah bekerja ekstra.  Angin dan dinginnya malam masuk ke tulang-tulang. Ia tak mengenakan jaket membuatnya ingin menutup mata sejenak.
Farah melihat ruangan di dalam café terasa hangat. Tapi ia sudah terlanjur berjanji menunggu di depan café.
Syafira memeluk tubuhnya sendiri. Syalnya yang ia gunakan terasa dingin. Kerudungnya ‘pun terasa dingin. Ia menatap langit. “Bintang dan bulan di langit begitu terang. Masih ada harapan untuk semua ini. Allah masih memberikannya kesempatan. Aku yakin, Allah pasti dapat membantu” gumam Syafira. Ia ingat hanya kalimat itu yang selalu diucapakan Farah kepadanya.
Sekarang sudah pukul 8 malam. Syafira memutuskan untuk pulang. Ia tidak kecewa. Mungkin Farah memang tidak bisa datang. Ia tahu keadaan Farah.
Saat Syafirah berdiri
Brukk……!
Ia mendengar seperti ada sesuatu yang jatuh. Saat menoleh ke utara
“Masya Allah…! Farah” dengan berlinang air mata, Syarifah menggoyang-goyangkan tubuh Farah berharap agar Farah bangun. Wajah Farah pucat, badannya sangat dingin. Farah pingsan. Tanpa membuang waktu Syafira melepaskan jaket dan syalnya. Ia mengenakannya pada Farah. Syafira menggendong Farah. Tak ada orang mau membantu Syafira. Di tengah-tengah perjalanan…………
“Syafira…… apakah kau Syafira” ujar Farah pelan.
“Farah kau sudah sadar”
“maafkan aku Syafira, aku aku membuatmu kecewa”
Syafira berjalan dengan derai air mata. “tidak Farah, tidak. Aku sama sekali tidak kecewa. Justru aku yang telah membuatmu kecewa”. Syafira membawa Farah jauh dari kota Moskow menuju kerumah.
“jangan kesana……! Jangan kesana Syafira aku mohon jangan kesana” ujar Farah agak keras.
“kondisimu sudah gawat” kata Syafira menoleh kebelakang membalas ucapan Farah. Bajunya basah dengan air mata.
“aku mohon jangan membuatku sedih”
“tapi……”
“aku mohon berjalanlah ke timur”
“baiklah kalau itu maumu” Syafira membawa Farah ke timur.
“belok kiri” Farah menuntun Syafira. Syafira tak kuat menahan air mata ia terus menangis. Ia mengusap pipinya dengan tangannya. Walaupun angin dan salju makin deras, Syafira seperti tak merasaknnya.
Sampailah Syafirah kesuatu tempat. Tempat itu persis yanga ada di sulaman Farah. Subhanallah !
Masjid Sobornaya ! masjid besar kota Moskow.
Syafira segera masuk. Dia melihat taman-taman es dengan rumput yang hijau. Ia juga melihat para jemaah yang sedang mengaji. Syafira menurunkan Farah.
“aku belikan teh hangat untukmu ya…? Supaya tubuhmu hangat” kata Syafira.
“jangan…! Ambilkan aku Al-Qur’an saja” desisnya pelan.
“baiklah” Syafira tidak tega melihat kondisi Farah seperti itu. Tapi ia akan membuat Farah senang. Siapa tahu kalau Farah senang, kondisi Farah akan semakin membaik.
Syafira mengambilkan Al-Qur’an. Setibanya ditempat Farah. Tangisannya pecah, sungguh menyedihkan. Farah kini sudah tergolek tak bernyawa.
Beginikah kejamnya tantenya Farah hingga membuatnya seperti ini. Farah itu yatim piatu. Padahal nabi menerangkan bahwa anak yatim itu harus di sayangi.
Ayah Farah dulu adalah seorang yang kaya. Ia memegang usaha penghasil gas terbaik didunia. Ayah Farah meninggal karena terkena gas beracun. Ibu Farah meninggal bunuh diri karena terkena depresi. Tantenya Farah menggantikan usaha ayahnya Farah.
Sejak tantenya Farah yang memimpin, semuanya berubah drastis. Ia serakah, ia memperlakukan pekerja tambang gas dengan gaji yang sangat minim. Uangnya pekerja tambang gas itu untuk kepuasan sendiri. Akhirnya ia gagal memegang usaha tersebut. Dan karena tantenya Farah terkena tekanan mental, Ia memperlakukan Farah semaunya. Bahkan Farah sekolah keterampilan itu adalah bukan dari harta warisan orang tuanya ataupun biaya dari tantenya. Tapi dari hasil menjual sulamannya sendiri.
Seandainya Farah tidak selelah ini. Meskipun di terjang salju ‘pun ia kuat, karena sudah 12 tahun ia tinggal di kota Moskow ini.
“Allah sudah menyediakan surga untukmu. Bahkan surga menantimu Farah. Kamu tak usah khawatir. Kalau Allah belum membalas kebaikanmu di dunia, maka Allah akan membalas kebaikanmu di akhirat, kebahagiaan di akhirat lebih indah dari pada di dunia. Biarlah Allah membalas kekejaman tantemu itu”
Ia tak rela kehilangan Farah. Sahabat yang setia, dan sangat sempurna bagi Syafirah.
Baju Syafira makin basah. Ia menatap langit dalam-dalam. “bintang dan bulan di langit begitu terang. Masih ada harapan untuk semua ini. Allah masih memberikannya kesempatan. Aku yakin, Allah pasti dapat membantu”.

***



oleh : Carra Al Kindi